Udah Sampai Banyuwangi Belum?
Suatu hari, seorang ibu mengantar anaknya yang baru berusia 7 tahun, naik bis jurusan Surabaya-Denpasar. Ibu berpesan pada Pak Supir, "Pak, titip anak saya, ya? Nanti kalau sampe di Banyuwangi, tolong kasih tau anak saya."
Sepanjang perjalanan, si anak cerewet sekali. Sebentar-sebentar ia bertanya pada penumpang, "Udah sampe Banyuwangi belom?" Hari mulai malam dan anak itu masih terus bertanya-tanya. Penumpang yang satu menjawab, "Belom, nanti kalo sampe dibangunin, deh! Tidur aja!"
Tapi si anak tidak mau diam; dia malah maju ke depan dan bertanya pada supir untuk kesekian kalinya, "Pak, cudah campe Banyuwangi belom?" Pak Supir yang sudah lelah dengan pertanyaan itu menjawab, "Belom! Tidur aja, deh! Nanti kalo sampe Banyuwangi pasti dibangunin!"
Kali ini, si anak tidak bertanya lagi. Ia tertidur pulas sekali. Semua orang di dalam bis lupa pada si anak sehingga ketika melewati Banyuwangi, tidak ada yang membangunkannya. Mereka baru ingat ketika sudah sampai di Bali! Kacau. Sang supir yang merasa bersalah, bertanya pada para penumpang yang lain, "Bapak-ibu, gimana, nih? Kita anter balik gak anak ini?" Para penumpang pun setuju karena juga turut merasa bersalah.
Maka kembalilah rombongan bis itu menyebrang Selat Bali dan mengantar si anak ke Banyuwangi. Sesampai di Banyuwangi, si anak dibangunkan. "Nak! Udah sampe Banyuwangi! Ayo bangun!" kata si Supir.
Si anak bangun dan berkata, "O, udah campe yah?" Lalu membuka tasnya dan mengeluarkan kotak makanannya. Seluruh penumpang bingung. "Bukannya kamu mau turun di Banyuwangi?" Tanya si supir kebingungan.
"Iiiih, siapa yang bilang? Nggak kok. Aku mau ke Denpasar ngunjungi Nenek. Kata Mama, kalo udah campe Banyuwangi, aku boleh makan nasi kotaknya!"
Nyaris!
Hari itu, jalanan lenggang. Sebuah motor melaju kencang tanpa pesaing yang berarti. Memakai jaket kulit hitam dan helm berwarna biru metalik, sang pengedara yang baru berusia 20-an, merasa begitu bebas. Ngeeng, ngeeeng ngeeng!
Tiba di suatu ruas jalan, sang pengendara motor benar-benar zero saingan. Adrenalinnya semakin meningkat saat dari kejauhan dia melihat lampu lalu lintas sedang berwarna hijau. Maka, ditambahkanlah kecepatan motornya hingga batas maksimal. Dia harus mampu melewati lampu hijau itu sebelum berubah jadi merah!
Namun mendadak, saat sedikit lagi melewati lampu lalu lintas, seorang nenek-nenek menyebrang jalan tanpa melihat kanan dan kiri terlebih dahulu. Sang pengendara panik dan sebisa mungkin menghindari tabrakan!
Syukurlah tidak terjadi apa-apa. Karena terlanjur kesal, saat sudah agak jauh dari TKP - Tempat Kejadian Perkara - sang pengedara motor menengok ke belakang dan mengumpat sejadinya. "Dasar nenek-nenek! Untung gak ketabrak!"
Di tempat berbeda, nenek-nenek yang baru saja lepas dari maut juga tak kalah kesalnya. Sembari melihat ke arah perginya sang pengedara motor, congor sang nenek pun berkoar, "Sialan tuh, Anak Muda! Payah bener! Gak becus! Masa nabrak nenek-nenek aja ngga bisa?!"
Kalau Duit Pas-pasan
KAMIS, MEI 17, 2012
Jenis cerita: Lucu / Humor
Sebut saja dia: Kardiman. Merasa putus asa cari uang di kampung (maksudnya gak kaya-kaya, gitu!), Kardiman memutuskan untuk merantau ke ibukota. Dia pikir rezeki akan datang lebih banyak di sana. Karena itulah, dengan bekal pas-pasan, Kardiman nekad pergi. Kardiman percaya: begitu sampai kota, dia akan segera dapat penghasilan. Walhasil, saat turun di terminal Pulo Gadung, Kardiman hanya punya uang Rp. 1000. Waduh, sedikit bener! Kardiman cuek bebek. Dengan mantap, dia berjalan mencari kerja. Tapi...
"Aduh..., haus nih. Rasanya pingin minum dulu deh" Kardiman membatin. Dikeluarkannya satu-satunya lembar fulus yang doi punya. Seribu dapet minuman macam apa ya di Jakarta? Akhirnya Kardiman mencari warteg. Begitu ketemu, dia langsung masuki dan pesan minuman.
Kardiman : "Mbak, pesen teh manis ya?"Pelayan : "Pesen teh manis panas atau dingin Mas?
Kardiman : "Hmm... Kalau yang dingin harganya berapa Mbak?
Pelayan : "Rp. 1500."
Kardiman : "Kalau yang panas?"
Pelayan : "Rp. 1000."
Merasa tidak punya pilihan, Kardiman memesan teh manis panas. Pelayan segera membuat pesanan Kardiman. Tak lama kemudian, teh manis panas pun disajikan. Namun, belum lagi 3 detik berselang, Kardiman terburu-buru menenggak habis teh panas yang ada di hadapannya. Glek, glek, glek! Pelayan bingung. Kok buru-buru, Mas?
Kardiman : "Saya takut kalo nanti tehnya keburu dingin, harganya jadi Rp. 1500, Mbak! "
"Kan Mbak sendiri yang bilang!?"
Pelayan : o_o
Di pinggiran sebuah hutan, satu keluarga kelinci mulai beranjak tidur. Malam membatasi gerak anak-anak mereka hanya di sekitar lubang yang menjadi ruman mereka. Walau tak berpintu, anak-anak kelinci seperti melihat dinding tebal antara rumah dan dunia luar.
Seekor anak kelinci bertingkah lain dari yang lain. Sesekali, ia menjulurkan kepalanya keluar lubang. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari sesuatu yang dianggapnya baru. Tapi, tindakan itu dicegah keras induknya. "Jangan coba-coba lakukan itu lagi, Nak!" teriak sang induk marah.
"Kenapa, Bu?" tanya anak kelinci heran. "Kenapa tak satu kelinci pun yang berani keluar lubang di saat malam?". Induk kelinci menatap anaknya tajam. "Anakku," ucapnya kemudian. "Malam sangat berbahaya untuk hewan seperti kita. Ketika malam datang, lubang menjadi tempat yang paling aman buat kita," jelas sang induk kemudian.
"Bukankah tanah di sekitar sini hanya dihuni para kelinci, Bu?" sergah si anak menawarkan sudut pandang lain. Induknya tersenyum. "Anakku, justru karena malamlah, kita tidak bisa membedakan mana teman dan mana pemangsa. Sabarlah untuk bergerak sekadarnya, hingga siang benar-benar datang!" ucap sang induk kelinci begitu meyakinkan.***
Malam dan siang memang bukan sekadar pergerakan sisi bumi yang menjauh dan menghadap ke arah matahari. Ada makna lain dari yang namanya malam. Sesuatu yang menggambarkan suasana gelap, tertutup, curiga, dan ketakutan.Dalam diri manusia pun punya dua suasana itu: malam dan siang. Malam menunjukkan suasana hati yang picik dan dangkal, dan siang menggambarkan kelapangan dada. Pada hati yang terselimuti malam, orang menjadi mudah curiga, senang dengan yang serba tertutup, sulit memaafkan, bahkan kecenderungan menjadi pemangsa.Orang bijak mengatakan, siang adalah di mana kita mampu membedakan antara pohon nangka dengan pohon cempedak. Selama kita tidak bisa menangkap kearifan diri kita pada wajah orang yang kita temui, jam berapa pun itu, hal itu menandakan kalau hari masih malam.
Di sebuah sarang yang sejuk dan nyaman, seekor anak lebah madu tampak termenung. Ia seperti tak bergairah. Sesekali, lebah cilik calon ratu ini merebahkan dirinya di sebuah kursi panjang. Beberapa saat kemudian, ia pun kembali duduk. Sorot matanya begitu layu.
"Kamu tampak lemas, anakku! Sudah makan?" ucap lebah ratu sambil melangkah lambat menuju sang anak. Ia pun membelai-belai tubuh puterinya yang nyaris tak bereaksi sedikit pun. "Bosan, Bu!" jawab si kecil singkat. Tatapannya masih tertuju pada ukiran-ukiran dinding yang membentuk lambang kerajaan. "Bosan? Kamu sakit?" tanya sang ratu lebih prihatin. "Tidak, Bu!" ungkap si kecil lagi-lagi singkat. "Lalu?" balas ratu disertai tatapan tajam ke wajah puteri tercintanya.
"Bu, aku bosan dengan suasana ini. Aku ingin busana yang lebih bagus, makanan yang lebih enak dan beragam. Aku ingin dayang-dayang yang siap diperintah! Aku ingin lebih dilayani!" ungkap si lebah kecil sambil membalas tatapan ibunya. "Kenapa ibu tidak memberiku teman di ruangan ini, kecuali perabot sederhana dan beberapa jendela di hampir semua dinding?" tambah si lebah kecil lebih bersemangat.
"Apa kamu sudah membuka jendela-jendela itu, nak?" tanya ibu lebah sambil mencoba terus membelai. "Buat apa?" sergah si lebah kecil menunjukkan ketidakpuasan.
Ratu lebah itu pun kembali berdiri. Tangannya meraih lengan kecil anaknya. Lebah ratu itu menggiring puterinya menuju jendela. Perlahan, ia buka satu per satu jendela-jendela di ruangan itu. Bias-bias sinar pun menerobos mengisi seluruh ruang. Beberapa gelombang suara dari luar berlomba menangkap telinga mereka berdua. Ada suara tawa lebah, teriakan, bahkan tangis yang sayup-sayup merambat masuk ke ruangan itu. Si anak lebah tampak bingung dengan tingkah yang dibuat ibunya.
"Perhatikanlah dunia dari balik jendela-jendela ini, anakku. Lihatlah kehidupan seperti apa adanya. Di sana ada tawa, tangis, teriakan ketidakpuasan; wajah-wajah bahagia, duka, gelisah," suara sang ratu lebah begitu memikat nalar anaknya. Si lebah kecil pun mulai tertarik dengan pemandangan di balik jendela.
"Anakku. Tak lama lagi kamu akan menggantikan ibu. Simaklah kegelisahan mereka. Penuhilah rasa tidak cukupmu dengan berlatih memberi. Ibu yakin, kamu akan selalu merasa puas!" ucap sang ratu lebah begitu memukau hati dan nalar anaknya.
***
Ada banyak jendela di sekeliling kita. Laporan media massa, obrolan para tetangga, pemandangan di jalan dan kendaraan umum, kritikan para bawahan; adalah di antara sederet jendela yang melekat di dinding rumah kita. Tapi, semua terserah kita: apakah jendela-jendela itu kita buka untuk disimak, atau dibiarkan saja tetap tertutup.Ketika suasana ruang yang ditempati sejuk dan nyaman, kecendrungan untuk membuka jendela lebar-lebar mungkin kecil. Ada nalar dangkal di situ: membuka jendela berarti membiarkan gangguan masuk, membuka jendela berarti mengurangiprivacy, bahkan membuka jendela berarti menurunkan wibawa diri.Menarik apa yang diucapkan ratu lebah kepada anaknya, "Jangan malas membuka jendela. Simak ketidaknyamanan penghuni lain dari situ. Pahami, dan seraplah sebagai energi baru. Agar, kesejukan dan kenyamanan rumah kita bisa dirasakan oleh orang-orang sekitar."
Seorang anak mengungkapkan rasa penasarannya kepada ayahnya. "Yah, seperti apa sih rupa gunung itu?" Sang ayah tidak menjawab. Ia hanya bilang, "Baiklah, kita berangkat menuju gunung. Akan kamu lihat seperti apa wajah gunung itu."
Berangkatlah mereka berdua dengan mengendarai mobil. Perjalanan lumayan lama, karena jarak antara tempat tinggal mereka dengan gunung terdekat bisa menghabiskan waktu empat jam dengan mobil. Jarak yang lumayan jauh. Bahkan sangat jauh untuk ukuran seorang anak usia enam tahun.
Ketika perjalanan sudah menempuh hampir separuh jarak, anak itu berteriak, "Hore, gunungnya sudah kelihatan." Dari balik kaca mobil, sebuah gunung membiru terlihat begitu anggun. Puncaknya menjulang ke langit nan biru dan menembus awan putih. "Oh, indahnya gunung itu," ucap sang anak. Ia benar-benar kagum.
Mobil pun terus melaju. Jalan yang ditempuh tidak lagi lurus dan datar, tapi sudah berkelok dan naik turun. Wajah gunung pun terlihat hijau karena dedaunan pohon mulai tampak walaupun cuma didominasi warna. Anak itu berujar lagi, "Oh, ternyata gunung itu berwarna hijau. Ada pohon-pohon kecil yang berjajar."
Sambil menikmati pemandangan sekitar, anak itu pun menyanyikan lagu: "Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali..." Hingga, perjalanan berhenti pada sebuah dataran yang sangat tinggi. Dari situlah mereka bukan hanya bisa melihat wajah gunung yang asli, tapi juga bisa memegang dan menginjak gunung. Mereka sudah berada di puncak gunung.
"Gunungnya mana, Yah?" tanya anak itu keheranan. "Inilah wajah gunung yang kamu cari, tanah yang sedang kita injak," jawab sang ayah sambil menunjuk ke tanah yang menanjak dan menurun. Anak itu agak heran. "Ini? Tanah yang gersang ini? Tanah yang cuma berisi batu dan pohon-pohon kecil dengan air sungainya yang keruh?"
Sang ayah mengangguk pelan. Ia menangkap warna kekecewaan yang begitu dalam pada diri anaknya. "Anakku, mari kita pulang. Mari kita nikmati wajah gunung dari kejauhan. Mungkin, dari sanalah kita bisa mengatakan gunung itu indah..."
***
Ketika seseorang sudah menjadi 'gunung-gunung' di masyarakatnya. Di mana, wajahnya bisa dilihat orang banyak, suaranya didengar banyak orang, akan muncul penasaran orang-orang yang melihat dan mendengar tokoh baru itu. Mereka ingin tahu, seperti apakah wajah sang tokoh ketika dilihat dari dekat: perilakunya, kehidupan rumah tangganya, dan hal-hal detil lain.Sayangnya, tidak semua 'gunung' yang terlihat indah ketika jauh, benar-benar indah di saat dekat. Para peminat yang ingin dekat dengan 'gunung' itu pun pasti kecewa. Ternyata, 'gunung' yang dari jauh indah itu, menyimpan banyak cacat. Keindahannya semu.Mari, kita bangun 'gunung-gunung' diri yang benar-benar indah: baik dari jauh, apalagi dekat. Jangan biarkan mereka yang semula kagum, menjadi kecewa. Jangan sampai ada orang-orang yang berujar persis seperti sang ayah bilang, "Anakku, mari kita menjauh. Mungkin hanya dari kejauhanlah, kita bisa mengatakan bahwa 'gunung' itu indah..."
Di sebuah tepian ladang, seorang anak memperhatikan ayahnya yang terus saja bekerja. Sang ayah terlihat menggemburkan tanah dengan cangkul, membaurkan pupuk di sekitar tanaman, dan membabat tumbuhan liar di sekitar ladang. Sesekali, sang ayah harus mencabut ilalang. Anak itu terus memperhatikan dengan heran.
"Kenapa ayah melakukan itu? Bukankah ilalang itu masih terlalu kecil untuk dicabut?" teriak si anak sambil berjalan mendekati ayahnya. Ia membawakan air yang baru saja ia tuang ke sebuah gelas kayu. Sambil tangan kiri menghapus peluh, tangan kanan ayah anak itu meraih gelas dari tangan kecil anaknya.
"Anakku, inilah pekerjaan petani. Kelak kamu akan tahu," jawab sang ayah singkat. Setelah minum, petani itu memanggul cangkul di dekatnya. "Hari sudah sore! Mari kita pulang, Nak!" ucap sang ayah sambil meraih pundak anak lelakinya itu.
Sepulang dari ladang, petani itu sakit. Hingga beberapa hari, ia dan anaknya tidak bisa ke ladang yang jaraknya sekitar satu jam berjalan kaki, naik dan turun. Petani itu tampak gelisah. Ia seperti ingin memaksakan diri berangkat ke ladang.
"Ayah kenapa? Bukankah waktu itu ladangnya sudah ayah bersihkan, dipupuk, dan dipagar," suara anak itu sambil membantu ayahnya bangun dari tempat tidur. "Itu belum cukup, Nak. Kelak kamu akan tahu!" ucap si petani sambil tertatih-tatih keluar rumah. Ia mengajak anaknya pergi ke ladang.
Setibanya di ladang, anak itu terperangah. Ia seperti tidak percaya apa yang dilihat. Hampir seluruh ladang ditutupi ilalang. Cabai dan tomat yang tumbuh mulai membusuk. Daun-daunnya pun dihinggapi ulat.
"Anakku, inilah yang ayah maksud tugas petani. Kini kamu paham, kenapa ayah gelisah. Karena seorang petani tidak cukup hanya menanam, menebar pupuk, dan memagar tanamannya. Tapi, ia juga harus merawat. Tiap hari, tiap saat!" jelas sang ayah sambil menatap sang anak yang masih terkesima dengan ilalang di sekitar ladang ayahnya.
***
Mereka yang terpilih Allah swt. sebagai pegiat dakwah, sadar betul kalau tugasnya begitu penting, mulia, dan sekaligus berat. Berat karena tugas itu tidak cukup sekedar menanam kesadaran, menebar sarana dakwah, dan memagari ladang dakwah dari terjangan angin dan hewan perusak. Lebih dari itu, ia harus merawat.Seperti halnya ladang tanaman, ladang dakwah bukan benda mati yang akan lurus-lurus saja kalau ditinggal pergi. Tanahnya hidup. Udara di sekitar pun dinamis. Yang akan tumbuh bukan saja tanaman yang diinginkan, tanaman liar seperti ilalang pun akan tumbuh subur merebut energi kesuburan ladang. Belum lagi telur-telur hama yang hinggap ke daun tanaman setelah berterbangan digiring angin.Pegiat dakwah persis seperti seorang petani terhadap tanamannya. Ia sebenarnya sedang berlomba dengan ilalang dan hama. Kalau ia tidak sempat merawat, ilalang dan hama yang akan ambil alih. Kelak, jangan kecewa kalau buah-buah tanaman yang akan dipetik sudah lebih dulu membusuk.
Di kerajaan Aryana, hidup dua orang pangeran kembar bernama Radite dan Rufus. Raja Hafa, ayah mereka, sangat menyayangi mereka berdua. Radite dan Rufus hampir sulit dibedakan karena wajah dan bentuk tubuh mereka sama. Namun, sifat mereka sangat berlawanan. Radite sering tersenyum, sedangkan Rufus selalu bersungut-sungut.
Pernah suatu kali, Raja Hafa membelikan kedua puteranya Permen Yang Tidak Akan Pernah Habis dari Kerajaan Lolly. Radite memeluk ayahanda kegirangan. Rufus pun semula tampak gembira. Namun ia akhirnya mengeluh juga."Permen ini tidak berguna. Walau tidak bisa habis, tapi kalau sudah dirubung semut, tetap saja tidak bisa dimakan lagi!" keluhnya.
Saat liburan tuba, Radite dan Rufus bersama teman-teman pergi berpiknik ke Sungai Yarra. Banyak orang yang datang ke sungai itu untuk naik kapal yang terbuat dari kaca. Mereka bisa melihat apa yang ada di dalam sungai.
Di sungai itu tinggal ikan pelangi. Tubuh ikan itu sangat panjang, warnanya indah seperti pelangi. Ikan-ikan itu sangat ramah. Jika ada kapal yang berlayar, ikan-ikan itu pasti akan berenang mendekat. Namun, jangan sampai tergoda untuk menyentuh mereka. Ikan pelangi akan menarik siapa pun hingga jatuh ke sungai untuk bermain dengan mereka.
Malangnya Rufus tidak tahu tentang itu. Rufus mengulurkan tangannya mencoba untuk menyentuh tubuh ikan pelangi yang indah itu. Ikan pelangi yang bertubuh panjang itu kemudian membelit pergelangan tangan Rufus dan menariknya. Kapal yang ditumpangi Rufus dan keempat teman sekolahnya oleng. Rufus pun jatuh ke dalam sungai bersama teman-temannya.
Untunglah guru-guru yang melihat kejadian itu langsung terjun ke sungai. Rufus dan keempat temannya segera diselamatkan.
Rufus sakit demam selama hampir satu minggu. Keluhannya semakin banyak, karena harus melewatkan hari ulang tahunnya di kamar. Raja Hafa terpaksa membatalkan pesta ulang tahun Radite dan Rufus, sebab Rufus masih lemah.
"Seharusnya kita tidak piknik di Sungai Yarra. Seharusnya kita diberitahu agar tidak menyentuh ikan pelangi itu! Guru-guruku payah sekali!" keluh Rufus.
Radite hanya diam mendengar keluhan kembarannya. Radite tahu persis, sebelum berangkat, guru-guru mereka sudah berulang-ulang memperingatkan mereka tentang ikan pelangi itu. Tetapi Rufus mungin tidak mendengar. Gara-gara Rufus, Radite pun tidak jadi merayakan pesta ulang tahun. Namun sama sekali tidak ada keluhan dari mulut Radite.
Raja Hafa muncul dari balik pintu. "Apa kabar, putera-puteraku sayang?""Baik, Ayahanda!" Radite menjawab dengan riang."Aku masih sakit. Rasanya badanku ini seperti terbakar," keluh Rufus."Ayah punya hadiah ulang tahun. Sekarang umur kalian sebelas tahun. Kalian sudah cukup dewasa untuk punya kamar terpisah. Mulai besok kalian akan punya kamar sendiri-sendiri.""Wow, kamu dengar itu Rufus? Kita bakalan punya kamar sendiri! Keren!" Radite sangat gembira. Rufus pun tampak senang."Radite, kamu boleh lebih dulu memilih kamarmu besok pagi. Ada dua kamar yang bisa dipakai. Satu di bangunan istana sayap utara dan satu lagi di sayap selatan."
Esoknya Radite melihat-lihat dua kamar tersebut. Ia akhirnya memutuskan untuk mengambil kamar di sayap utara. Mendengar itu, Rufus menggerutu. Ia tidak suka jika Radite yeng memilih terlebih dahulu. Nanti pasti dirinya hanya disisakan kamar yang jelek. Tetapi harus bagaimana lagi? Rufus diperingatkan dokter untuk tidak terlalu banyak turun dari tempat tidur.
Beberapa dayang membantu memindahkan barang-barang mereka ke kamar yang baru.Rufus juga digendong menuju kamar barunya. Sebenarnya kamar barunya itu tidak jelek. Dari jendelanya ia bisa melihat Lapangan Sierra yang luas. Lapangan itu sangat indah pada sore hari, matahari seakan terbenam di ujung lapangan itu.
Akan tetapi Rufus memang tak pernah puas. Sore harinya, Radite berkunjung ke kamarnya. Radite kagum melihat keindahan pemandangan dari jendela Rufus. Ia juga bercerita bahwa dari jenedla kamarnya, ia bisa melihat Sungai Yarra. Mendengar itu, Rufus menjadi iri. Ia lebih suka pemandangan Sungai Yarra daripada Lapangan Sierra.
Rufus mengeluh kepada ayahandanya. Raja Hafa sedikit jengkel."Rufus, Ayah tidak suka dengan sifatmu yang selalu tidak puas. Jika Ayah mengabulkan permintaanmu ini, berjanjilah bahwa ini adalah terakhir kalinya kamu mengeluh! Kalau kamu masih juga mengeluh, Ayah tidak akan pernah memberi kamu hadiah lagi."
Rufus menganggukan kepala.Raja Hafa memanggil Radite dan memberitahukan hal ini padanya. Radite agak kecewa saat diminta bertukar kamar dengan Rufus. Meskipun demikian, ia merelakan juga kamarnya untuk ditempati Rufus.
Dayang-dayang segera memindahkan barang mereka berdua. Setelah selesai. Betapa kagetnya ketika ia membuka pintu kamar barunya itu. Memang kamar itu sedikit besar daripada kamarnya yang dulu. Tetapi pemandangan dari jendela kamarnya tertutupi tembok bangunan istana utama di kejauhan. Hanya tersisa sedikit celah untuk melihat pemandangan Sungai Uarra.
Rufus terdiam. Ia menyadari kesalahannya selama ini. Betapa baiknya Radite yang sudah memberikannya kamar yang terbaik. Sejak itu, Rufus tidak pernah mengeluh lagi.
Hmm, "PrObLeMoNeY" merupakan suatu judul dari sebuah Novel karya Dirgita Devina. Novel ini menurutku bagus sekali dan ceritanya seru. Novel ini memiliki tebal 91 halaman dan kebetulan, bikinnya pake sistem operasi Ubuntu wkwkwk.
Mari, kita baca sinopsis, asli dari Pembuatnya:
Novel ini berkisah mengenai seorang siswa SMA bernama Ardo. Pemuda itu menderita pelupa yang akut, sehingga suatu ketika harus terlibat masalah pelik akibat penyakitnya itu, yakni menghilangkan uang OSIS dengan nominal yang mungkin tidak bisa ia ganti. Ardo hanyalah putra seorang janda dari keluarga sederhana.Dalam keseharian Ardo, ia memiliki teman-teman yang cukup dekat. Di antaranya adalah Eka, putri tunggal pasangan pengusaha. Bisa dibilang, siswi ini memiliki otak yang cemerlang sehingga ia harus mati-matian mempertahankan prestasi akademisnya. Eka memiliki sepupu yang agak aneh bernama Adri (ketua OSIS).Tak ketinggalan pula Syukur dan Rizal. Dua curut tersebut biang onar di kelas, tetapi bukan termasuk siswa yang terjerumus ke dunia gelap. Lebih tepatnya adalah siswa dengan “masa kanak-kanak yang suram”.
Oya, ada uneg-uneg nya juga:
Novel yang sebenarnya telah berumur kurang lebih enam tahun ini (pada tahun 2009) mengalami cukup banyak perombakan, hingga akhirnya diterbitkan untuk pertama kalinya di publik secara luas pada awal tahun 2009. Pada perkembangan selanjutnya, novel ini akhirnya direvisi kembali pada tahun yang sama dengan beberapa penambahan dan perubahan.PRoBLeMoNeY didedikasikan untuk teman-teman semasa SMA yang kini sudah sangat jarang sekali berjumpa. Mulai dari Rizal Ashari, M. Syukur, dan Aprianto (aka Adriano), hingga Tri Manja Ariansyah. Terima kasih pula kepada Bapak Rusmanto Maryanto (InfoLINUX) untuk usulan lisensi. Dan beribu terima kasih kepada siapa saja yang telah meluangkan waktu untuk membaca novel ini.
Cuplikan ceritanya:
….Eka menghentikannya. Ia memaksa pemuda itu menghadap dirinya. “Memangnya, aku sahabat seperti apa? Kau sudah capek-capek menjadi teman yang baik bagiku. Sementara aku, apakah harus membiarkanmu tenggelam dalam masalahmu sendiri? Aku harus membantu, dong! Dan tanpa perlu ganti atau imbalan. Cukup terus menjadi sahabatku yang setia.”Ardo mematung. Ia hanya menatap ujung kakinya di tanah.Eka bergerak menuju mobil. “Kau ingin pulang, kan? Aku antar!”Malamnya, Eka diperbudak oleh sang ayah. Sebelum permintaannya terkabul, ia harus memijat punggung ayahnya yang serasa remuk. Karena keenakan, Iman tertidur. Ia terpaksa menjerit karena putrinya menekan beberapa ruas tulang belakangnya dengan kuat, hingga terdengar sesuatu retak.“Uangku…!” Eka mengulur tangan.“Kenapa tidak ambil tabunganmu sendiri bila ada keperluan mendesak?”“Ayah, ini hari Sabtu, besok hari Minggu. Mana ada bank yang buka! Sementara, aku memerlukan uang itu secepatnya. Bukankah ayah memiliki brankas di rumah?” Eka memainkan alis matanya dengan nakal.“Kau sama seperti ibumu. Sama-sama tidak bisa sabar….” Iman bersungut-sungut. Ia menghampiri sebuah lemari.“Dan ingat. Aku juga mewarisi darah kejam Ayah.” Eka melipat tangan di depan dada. “Coba Ayah mengizinkanku memegang kartu ATM. Kolot!”….
Hmm... Bagaimana? Penasaran dengan cerita lanjutannya? Nyesel lho, kalo gak baca!
Alkisah, di suatu rumah di bumi Mesir, seorang wanita bernama Masyitoh yang sedang meninabobokan putri kecilnya diselimuti kegalauan. Ia lantas menceritakan kisahnya pada suami dan seorang pendeta bani israil. Jadi, ketika ia menyisir rambut putri Taia, putri kesayangan Firaun, sisir yang ia pegang terjatuh ke bumi. Tanpa sengaja Masyitoh berucap “Demi Alloh, celakalah Firaun”. Putri Taia kaget bukan kepalang mendengarnya dan dengan berapi-api ia memburu Masyitoh dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan keimanan. “Bukankah Firaun, ayahanda, adalah Tuhanmu? Ia Tuhan sekalian alam”, ucap Taia. Masyitoh menjawab dengan berani "Bukan, Allah lah Tuhan sekalian alam, Dia adalah Tuhanku dan juga Tuhan ayahanda tuan putri, Firaun." Seketika saja Taia marah dan melaporkannya pada Firaun. Masyitoh pulang dengan wajah gelisah. Setelah mendengarkan cerita Masyitoh, Oded, suami masyitoh, dan pendeta berusaha menenangkan Masyitoh, sembari menenangkan diri mereka sendiri. Sebab bukan tidak mungkin, akibat dari pernyataan Masyitoh tersebut maka bani israil akan dibantai oleh Firaun. Padahal kehidupan mereka saja, dalam rangka membangun istana piramid sudah sangat mengenaskan.
Nyatalah kerisauan yang selama ini dirasakan. Seorang pendeta Firaun ditemani anak buahnya mendatangi rumah Masyitoh dan menyeretnya menuju ke istana. Ia, suami, Siteri (putri pertama mereka berusia 10-12 thn) dan Itamar (bayi kecil mereka) dihadapkan langsung pada Firaun. Dengan sombong, Firaun memaksa Masyitoh sekeluarga untuk mengakui ketuhanannya. Bahkan ia menyatakan perang dengan Tuhan Masyitoh, Alloh, yang tiada di hadapannya. Tak pelak, hukuman cambuk pun terjadi, menyisakan gurat-gurat merah berdarah di punggung Oded dan Masyitoh. Subhanalloh, mereka tetap tegar bahkan semakin kuat ketauhidannya. Ternyata itu tidak cukup bagi Firaun dan antek-anteknya. Lantas Siteri yang masih kecil itu dijadikan tumbal agar orangtuanya menyerah. Ia dicambuk oleh algojo firaun tanpa ampun. Perasaan ibu mana yang tak luka ketika menyaksikan anaknya tersiksa? Namun masyitoh, di tengah terpaan badai berusaha menenangkan Siteri dengan nasihat-nasihat tauhidnya. ”Lecutan cemeti hanya bisa membekas pada tubuh, hanya bisa mengelupas kulit, mungkin melukainya, tetapi hati yang teguh beriman tidaklah akan dapat diubahnya”, begitu pesan lembut masyitoh.
Akhirnya penuhlah sudah wadah kesabaran Firaun, ia lantas memerintahkan algojo untuk memasukkan Masyitoh sekeluarga ke dalam wajan panas raksasa. Wajan itu diisi dengan timah mendidih. Timbul sebersit ragu dalam diri masyitoh, ia mulai memikirkan Siteri, Itamar dan Oded suaminya. Bayi Itamar yang sedari tadi menangis dengan keras tiba-tiba berhenti dan berkata lantang ”Ibu, Ayah, janganlah bimbang dan janganlah ragu. Sebab cairan timah tidaklah panas kendatipun mendidih. Yang panas hanya dalam sangkaan, takkan terasa oleh orang yang sudah tunggal rasa, erat berpaut tauhid dengan Alloh yang Maha Agung”. Firaun dan antek-anteknya kaget bukan kepalang. Bukan..bukan hanya kaget. Mereka takut..takut pada ”sesuatu” yang menurut mereka tiada, namun bisa membuat Masyitoh rela digodog dalam timah panas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar